oleh Moch HasrulIbu: “Kamu belajar apa hari ini di sekolah, Nak?”
Anak: “Hmm, di sekolah tadi aku belajar tentang pertanian bu. Di zaman dulu Pemerintah baik deh bu, masa yaa, Pemerintah memberikan bibit dan pupuk kimia kepada petani, katanya untuk meningkatkan produksi pertanian yang tinggi. Dan kami harus percaya itu. Aku jadi bingung bu”
Ibu: “Waduh! Lalu kamu kenapa bingung?”
Dialog di atas menggambarkan realitas tentang bagaimana distribusi pengetahuan di sekolah sering kali masih bersifat satu arah, di mana siswa hanya menerima informasi tanpa ruang untuk mempertanyakan atau menganalisis secara kritis. Sebagai tempat produksi pengetahuan, sekolah seharusnya menjadi ruang untuk mengasah kesadaran kritis, bukan sekadar menyampaikan doktrinasi. Namun, hingga saat ini, sekolah cenderung berfungsi sebagai institusi yang mencetak tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan industri. Hal ini berdampak pada pengabaian kesadaran kritis, kreativitas, dan kemampuan reflektif. Siswa/i hanya diarahkan untuk menerima pengetahuan yang sudah dianggap “matang” tanpa memiliki kesempatan untuk mempertanyakan relevansi atau implikasinya dalam kehidupan nyata.
Menurut (Yustiani dkk., 2024) dalam penelitiannya dengan judul “Studi Komparatif Sistem Pendidikan Indonesia dan Finlandia” yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih menitikberatkan pada capaian akademik, yang mana guru sebagai pusat dan siswa/i hanya sebagai objek yang pasif, dengan kata lain top-down. Sekali lagi, tujuannya sangat pragmatis yaitu menciptakan tenaga kerja untuk diserap oleh industri. Kebiasaan sistem pendidikan seperti itu terbangun sejak era kolonial Belanda. Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1849 pemerintah kolonial Belanda mendirikan sekolah untuk kaum pribumi dengan tujuan mencetak tenaga administrasi untuk diserap oleh pemerintah kolonial, selain itu juga untuk membendung rakyat pribumi untuk mengakses sekolah ELS (Europeesche Lagere School) yang merupakan sekolah eksklusif untuk anak-anak Eropa dan anak-anak kelas menengah saat itu (Latif, 2020).
Setelah mengalami 11 kali perubahan kurikulum, sistem evaluasi pembelajaran di Indonesia masih cenderung menitikberatkan pada hasil, seperti ujian atau tes, sebagai penentu keberhasilan peserta didik dan institusi pendidikan. Pendekatan ini menciptakan tekanan tinggi untuk memperoleh nilai maksimal, sehingga fokus pembelajaran sering terbatas pada kemampuan akademik yang dapat diukur secara langsung (Yustiani dkk., 2024). Akibatnya, aspek penting seperti kesadaran kritis, kreativitas, dan pengembangan karakter seringkali terabaikan. Padahal, pengembangan karakter ini merupakan inti dari pandangan pendidikan Ki Hadjar Dewantara, yang menekankan pentingnya keseimbangan antara intelektual, emosional, dan moral dalam proses belajar.
Lebih jauh, standar nilai tertentu yang digunakan sebagai tolak ukur keberhasilan turut membentuk jalur karier peserta didik, baik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi maupun memasuki dunia industri. Standar ini sering kali menyesuaikan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja yang mengutamakan sumber daya manusia dengan kemampuan yang telah ditentukan. Akibatnya, pembelajaran berisiko menjadi terlalu pragmatis, dengan mengabaikan potensi lain seperti pengembangan karakter dan kebebasan berpikir kritis yang tidak langsung terukur, tetapi sangat penting untuk keberhasilan jangka panjang.
Anak: “Soalnya, aku ingat Paman Petani ayahnya Diana pernah cerita kalau tanahnya jadi keras dan nggak subur lagi setelah pakai pupuk kimia terlalu lama. Dia bilang, kalau nggak pakai pupuk itu, tanamannya nggak mau tumbuh.”
Ibu: “Wah, itu bagus kalau kamu mulai memikirkan dampaknya. Jika kamu suka, kamu bisa mencari tahu lagi lebih dalam tentang hal tersebut nak!”
Anak : “Yaa.. Aku tertarik dengan hal tersebut bu!” Dalam kutipan Ki Hadjar Dewantara, “Melalui pengenalan dan penerapan asas hak individu untuk menentukan nasib sendiri yang dipadukan dengan tuntunan kolektif,” tersirat bahwa pendidikan harus menghormati kebebasan individu untuk belajar sesuai dengan minat dan potensinya. Namun, kebebasan ini tetap harus berada dalam kerangka tanggung jawab sosial, di mana setiap individu berkontribusi pada kepentingan bersama.
Konsep pendidikan memerdekakan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah pendekatan yang bertujuan mengembangkan potensi individu secara utuh. Pendidikan harus memberi ruang kepada setiap individu untuk berpikir, bereksplorasi, dan berkreasi dengan dasar tanggung jawab sosial serta keharmonisan dengan alam. Sebagai proses belajar, pendidikan menjadikan manusia berkebudayaan yang merdeka dengan potensi ganda. Pertama, memahami diri sendiri, yaitu mengenali kekhasan potensi diri dan komitmennya terhadap kebersamaan nilai-nilai kebudayaan yang membentuk karakter. Kedua, memahami lingkungan, yaitu memberikan wahana kepada individu untuk mengenali dan mengembangkan kebudayaan sebagai sistem nilai, pengetahuan, dan perilaku bersama melalui olah pikir, olah rasa, olah karya, dan olahraga (Latif, 2020).
Seperti yang terjadi dalam dialog imajinatif kedua, di mana seorang anak memiliki pandangan lain terhadap isu pertanian, dia mendapatkan informasi lain selain dari gurunya dan membebaskan dirinya untuk menentukan apa yang ingin dia cari tahu.
Pawiyatan, atau yang lebih dikenal dengan mondok, adalah sistem pengajaran efektif sejak abad ke-6 hingga abad ke-10 Masehi di Nusantara. Sistem ini melibatkan guru dan murid tinggal bersama, mendekatkan teori dengan praktik (Latif, 2020). Model ini mirip dengan residensi seni, di mana seniman menetap dan berpraktik di lokasi spesifik untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial maupun alam. Proses ini mencakup dialog, refleksi, dan respons terhadap konteks lokal, melibatkan warga melalui diskusi, kolaborasi, atau workshop (Pinto dkk., 2020).
Residensi seni menekankan eksplorasi kontekstual berbasis lokasi tertentu, memberikan ruang dan waktu bagi seniman untuk bereksperimen secara kreatif dan reflektif, serta menemukan makna baru (Elfving dkk., 2019). Interaksi sosial selama residensi membangun wacana spesifik yang menghubungkan keterampilan dan pengetahuan dengan empati dan kepedulian terhadap sesama (Hasrul, 2024).
Pandangan ini relevan dengan teori John Dewey, yang menekankan pembelajaran efektif melalui interaksi langsung dengan lingkungan, memungkinkan individu menghubungkan pengetahuan baru dengan pengalaman sebelumnya (Cloke, 2024). Dalam residensi seni, seniman tidak hanya memperkaya praktik artistik mereka tetapi juga menghasilkan pemahaman mendalam tentang dinamika sosial dan budaya komunitas tempat mereka berkarya. Dengan demikian, residensi seni mencerminkan pembelajaran berbasis pengalaman yang mengintegrasikan karsa, rasa, dan daya kreatif seniman.
Proses penggalian pengetahuan oleh seniman yang terjadi saat seniman melakukan residensi seperti yang diceritakan sebelumnya. Lalu pengetahuan tersebut diartikulasikan melalui presentasi artistik. Presentasi artistik merupakan bagian dari salah satu proses penciptaan karya, tangkapan-tangkapan pengetahuan tersebut diceritakan kembali melalui bentuk-bentuk artistik dengan kelihaian seniman masing-masing setelah direfleksikan ke dalam diri. Dengan medium-medium seni seperti video, karya-karya instalasi, lukisan, patung dan masih banyak lainnya. Penggunaan medium tergantung juga dengan kemampuan dan urgensi masing-masing karya dan bagaimana “lipatan” medium tersebut bisa menyampaikan gagasan atau terjemahan dari pengetahuan senimannya. Medium karya juga mengiring apresiator ke dalam pemahaman gagasan dari senimannya.
Konsep Tri-N—Niat, Nalar, dan Naluri—menurut Ki Hadjar Dewantara mencakup dimensi moral, intelektual, dan estetika, yang memungkinkan seni menjadi sarana untuk menghaluskan rasa, menciptakan kepekaan sosial, serta membangun hubungan emosional dengan lingkungan. Seni yang ideal, dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara, adalah seni yang mampu mengintegrasikan ketiga aspek ini, sehingga membentuk manusia yang seimbang: bermoral, berpikir kritis, dan peka terhadap keindahan.
Cynthia Freeland, dalam pandangannya tentang seni sebagai medium kognitif, menegaskan bahwa seni memberikan pengalaman belajar unik dengan merangsang aktivitas kognitif dan estetis. Seni tidak hanya diamati atau dinikmati secara visual, tetapi juga mendorong individu untuk berpikir kritis, menghubungkan pengalaman tersebut dengan realitas, serta memperhalus keyakinan dan memperdalam pemahaman mereka terhadap berbagai isu sosial, moral, dan filosofis (John, 2001).
Ki Hadjar Dewantara dan Freeland memiliki kesamaan dalam melihat seni sebagai medium yang lebih dari sekadar estetika. Bagi Freeland, seni memberikan pengetahuan dan pemahaman melalui proses stimulasi kognitif, sementara bagi Ki Hadjar Dewantara, seni berfungsi sebagai instrumen pendidikan yang membebaskan. Dalam konteks ini, seniman bertindak sebagai pembelajar dan pendidik, mengelola pengetahuan berdasarkan minat serta kehendak pribadi mereka, kemudian menyampaikannya melalui presentasi artistik yang mempertimbangkan medium, konteks sosial, dan cara distribusinya.
Proses ini mencerminkan gagasan Ki Hadjar Dewantara tentang pembelajaran yang memerdekakan, di mana seniman bebas mengeksplorasi ide dan medium seni sesuai potensinya. Karya seni tidak hanya menciptakan gagasan baru, tetapi juga membangun dialog yang melibatkan pencipta dan audiens, sehingga seni menjadi sarana produksi sekaligus distribusi pengetahuan.
Selain itu, baik Freeland maupun Ki Hadjar Dewantara sepakat bahwa seni merupakan proses belajar dan mengajar dua arah. Seni mendidik penciptanya melalui eksplorasi kreatif, dan mendidik penerimanya dengan memperkaya wawasan intelektual, membangun kepekaan moral, serta memperkuat hubungan sosial. Dalam pandangan ini, seni tidak hanya menjadi alat ekspresi pribadi, tetapi juga medium pembelajaran kolektif yang mengintegrasikan nilai-nilai moral, intelektual, dan estetika.
Dengan demikian, pandangan Freeland dan Ki Hadjar Dewantara menunjukkan bahwa karya seni tidak hanya terkait dengan estetika, tetapi juga mencakup transfer pengetahuan, pembentukan karakter moral, dan dialog sosial, menjadikannya elemen penting dalam pendidikan dan pembentukan manusia yang utuh.
Pemikiran artistik menjadi dasar bagi aktivitas seniman-peneliti dalam menelaah persoalan pedagogis. Proses berpikir berlangsung melalui praktik artistik, mengikuti jalur yang beragam dan bergerak ke berbagai arah. Jalur-jalur ini saling bersilangan, bertukar posisi, dan sesekali bertemu pada suatu titik, di mana wawasan baru muncul—sebuah momen di mana gagasan berkembang dan melahirkan sesuatu yang baru. kalimat kalimat tersebut dikutip dari seorang seniman dan pengajar Jaana Erkkilä-Hill.
Sebagai penutup, pertanyaan mendasar yang perlu direfleksikan adalah: mampukah masyarakat dan sistem pendidikan di negara ini benar-benar mengimplementasikan konsep pendidikan yang memerdekakan? Dalam konteks ini, praktik artistik yang dilakukan oleh seniman bukan hanya sekadar ekspresi estetika, tetapi juga sebuah proses belajar-mengajar yang menantang metode pendidikan tradisional. Apakah seni dapat dianggap sebagai metode produksi pengetahuan yang dapat diimplementasikan secara efektif? Jika ya, bagaimana seni mampu bersaing atau melengkapi metode pembelajaran tradisional yang selama ini berfokus pada capaian akademik dan evaluasi terukur? Pertanyaan ini tidak hanya menantang pandangan kita tentang seni, tetapi juga mendesak kita untuk mempertimbangkan kembali paradigma pendidikan yang mengutamakan kebebasan berpikir, berkreasi, dan berinovasi.
Daftar Referensi :
Cloke, H. (2024, September 28). John Dewey’s Learning Theory: How We Learn Through Experience. Growth Engineering. https://www.growthengineering.co.uk/john-dewey/
Elfving, T., Kokko, I., & Gielen, P. (2019). Contemporary artist residencies: Reclaiming time and space. Valiz.
Erkkilä-Hill, J. (2024). Outside the rules, outside the boundaries. FORUM+, 31(1), 6–11. https://doi.org/10.5117/FORUM2024.1.002.ERKK
Hasrul, M. (2024). Sekolah itu bernama “Indonesia Art Movement.” Dalam Serrum & K. Yunita (Ed.),
Ekstrakurikulab: Kolektif sebagai Sekolah (hlm. 207–232). Serrum.
John, E. (2001). Art and Knowledge. Dalam THE ROUTLEDGE COMPANION TO AESTHETICS (Vol. 1, hlm. 329). Routledge.
Latif, Y. (2020). Pendidikan yang berkebudayaan: Histori, konsepsi, dan aktualisasi pendidikan transformatif. PT Gramedia Pustaka Utama.
Pinto, M. R., Viola, S., Onesti, A., & Ciampa, F. (2020). Artists Residencies, Challenges and
Opportunities for Communities’ Empowerment and Heritage Regeneration. Sustainability, 12(22), 9651. https://doi.org/10.3390/su12229651
Yustiani, B., Susanti, L. R., Safitri, E. R., & Gulo, F. (2024). STUDI KOMPARATIF SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA DENGAN FINLANDIA. LEARNING : Jurnal Inovasi Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran, 4(4), 1025–1035. https://doi.org/10.51878/learning.v4i4.3487
