Bukan Sekadar Umur: Siapa dan Kenapa Harus Orang Muda?

Wilsa Naomi-Pamflet Generasi

Kata “orang muda” seringkali digaungkan, lengkap dengan serentetan ekspektasi dan ciri khas yang disematkan kepadanya. Tapi, apa yang sesungguhnya menjadi kekhasan orang muda sampai ia harus menjadi satu label identitas tersendiri? 

Kelompok usia! Mungkin jawaban ini yang paling awal terlintas dalam benak kita. Namun sebenarnya, satu dunia tidak pernah punya kesepakatan resmi akan hal ini. Tiap negara, atau bahkan organisasi, memiliki kelompok usia “orang muda”-nya sendiri. Di Indonesia, orang muda atau pemuda adalah mereka yang ada dalam rentang usia 16-30 tahun. Tapi, Badan Pusat Statistik (BPS) biasanya menggunakan kategori Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB), yaitu 15-24 tahun. Sedangkan di program Urban Futures, kelompok usia orang muda adalah 18-35 tahun, berbeda tipis dengan negara Zambia yang menggunakan kelompok usia 15-35 tahun. Dengan kata lain, kelompok usia saja tidak cukup untuk menggambarkan kekhasan ini. 

Menjadi orang muda berarti hidup di masa transisi yang serba tanggung, dari anak menuju dewasa. Cerita tentang keserbatanggungan ini juga kami dengar dari kawan-kawan muda selama setahun berkegiatan dalam program Urban Futures

Sebagai latar, program ini bercita-cita untuk mewujudkan sistem pangan kota yang inklusif dan tahan iklim, salah satunya lewat aksi orang muda. Pamflet Generasi, sebagai organisasi youth-led dengan fokus untuk mendorong partisipasi orang muda yang inklusif dan bermakna agar orang muda dapat menikmati hak-hak asasi manusianya, mengambil peran sebagai sistem pendukung bagi sesama orang muda. Baik itu dengan mempelajari, merefleksikan, menarasikan, dan mendorong sistem pangan kota yang ideal bagi mereka lewat aksi nyata. 

Kota Bandung, dalam konteks ini, adalah kota konsumsi yang penuh kemungkinan. Tantangan dan peluang saling bertemu di ruang ini. Sehari-harinya, kota ini bergulat dengan tingginya ketergantungan pangan pada wilayah lain hingga limbah pangan yang kian menumpuk. Di saat yang bersamaan, di 15 

berbagai sudut ruang kota ini, hidup beragam komunitas muda dan orang dewasa dengan keberpihakan yang resah dan ingin mendorong perubahan. Ruang-ruang kota, pada akhirnya, adalah arena strategis untuk memengaruhi arah kebijakan dan perubahan sistemik—dimulai dari lingkup terkecil. 

Sayangnya, belum semua ruang melibatkan orang muda secara bermakna. Kawan-kawan muda kerap diharapkan jadi agen perubahan, tapi tidak cukup dipercaya untuk dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Digadang-gadang untuk jadi wirausahawan atau petani muda, namun seringkali tidak memiliki modal materi, pengetahuan, lingkungan pendukung, ataupun jaring pengaman yang memadai untuk gagal. Ada pula kawan-kawan muda yang sudah resah, namun karena keterbatasan pengalaman menjadi bingung harus memulai dari mana dan dengan siapa. 

Kondisi ini membuat kita (atau mungkin kami), orang muda, memiliki kerentanan khusus. Orang muda sudah tidak lagi diperlakukan seperti anak-anak yang harus dibimbing terus-menerus, tetapi juga belum sepenuhnya dilihat sebagai orang dewasa dalam mengemban tanggung-jawab. Inilah mengapa pengalaman orang muda itu unik dan khas. Apalagi, identitas orang muda tidak seragam, setiap individu memiliki lapisan identitas lain. Gender, disabilitas, tinggal di kota atau rural, mempengaruhi kerentanan serta bagaimana mereka mengalami, mengakses, dan melihat dunia di sekitarnya. Tak terkecuali dalam sistem pangan. 

Agar orang muda dapat tumbuh dan dapat berpartisipasi secara bermakna dalam sistem pangan, perlu ada peran aktif orang dewasa dalam menciptakan lingkungan yang mendukung serta penguatan kapasitas yang relevan dengan kebutuhan mereka. Salah satu langkah awalnya adalah dengan mengangkat suara orang muda ke permukaan, agar kita bisa menangkap refleksi orang muda ragam identitas tentang pengalamannya yang unik. 

Buku ini merangkum pengetahuan dari proses residensi empat kawan seniman muda di berbagai rantai sistem pangan Kota Bandung. Selama prosesnya, kawan-kawan seniman juga didampingi kawan diskusi, baik itu dari Ibu Any Sulistyowati (KAIL), para host, maupun kawan-kawan Serrum. Harapannya selain dapat mengenal lebih dalam tentang pangan di sekitarnya, karya reflektif dari pengalaman kawan-kawan ini dapat menginterogasi dan membuka ruang diskusi tentang hal-hal yang kerap luput kita bicarakan tentang sistem pangan. 

Mari kita dengarkan dan diskusikan!