oleh Catharina Any Sulistyowati
Penulisan kata pengantar buku ini berawal dari perjumpaan saya dengan Kang Angga dan Kang Rico beberapa bulan yang lalu. Mereka datang ke Rumah KAIL untuk mengundang saya menjadi salah satu fasilitator atau “teman” dari para seniman residensi pangan yang merupakan bagian dari kegiatan Urban Futures. Saya menyukai makanan, kebun yang menghasilkan pangan, dan beberapa kali menulis artikel terkait dengan isu pangan, tetapi baru sekali ini saya diminta menemani sekelompok seniman residensi. “Wah, menarik sekali programnya,” pikir saya. Saya ingin tahu bagaimana isu pangan diolah oleh para seniman melalui proses imajinasi kreatif dan ketrampilan tangan mereka hingga menghasilkan sebuah karya seni.
Ternyata prosesnya memang sungguh menarik. Sebagai fasilitator, saya mendapatkan tugas yang saya sukai, yaitu menceritakan hal-hal yang saya ketahui tentang pangan dan mendengarkan cerita para seniman selama proses residensi, merencanakan karya, dan mempresentasikan perkembangan karya mereka. Cerita-cerita itu disampaikan dalam berbagai kesempatan. Ada waktu di mana mereka datang ke Rumah KAIL, jadi saya bisa mengajak mereka menjelajah kebun dan menceritakan kepada mereka bagaimana bakteri dan jamur bekerja sama dalam proses perbaikan kondisi tanah di kebun kami. Kami juga beberapa kali bertemu secara online di ruang Zoom.
Dalam percakapan-percakapan tersebut, kami mengajukan beberapa pertanyaan bersama, misalnya: “Mengapa Kota Bandung tidak bisa memenuhi kebutuhan pangannya sendiri?” atau “Mengapa generasi muda di Kota Bandung tidak mau menjadi petani?” Ternyata, untuk menjawabnya, kami tidak bisa hanya melihat Kota Bandung saja, melainkan perlu juga melihat kaitan antara sistem pangan Kota Bandung dengan berbagai dimensi non-pangan, dan wilayah-wilayah lain di luar Bandung yang terkait dengan pangan tersebut. Kesimpulannya, persoalan pangan Kota Bandung adalah sebuah persoalan kompleks yang multidimensi dan terkait dengan berbagai persoalan nasional dan global.
Ada beberapa kondisi makro yang membingkai persoalan tersebut. Perkembangan teknologi pertanian memungkinkan manusia berubah dari pola hidup berburu dan meramu menjadi tinggal menetap, mengakumulasi surplus pangan, dan meningkatkan populasi. Perdebatan tentang pertumbuhan penduduk dan pemenuhan pangan global dipengaruhi oleh Malthus, yang menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk lebih cepat daripada produksi pangan. Untuk mengatasi tantangan ini, modernisasi pertanian dipilih menjadi strategi utama pembangunan global pasca Perang Dunia II. Mengikuti 7
tahapan pertumbuhan ekonomi Rostow dan dalil keunggulan komparatif, pertanian tradisional diubah menjadi pertanian modern yang lebih produktif dan berorientasi ekspor. Proses ini membuat sistem pangan menjadi global, produksi pangan tidak lagi terikat oleh ruang dan waktu, serta didukung oleh teknologi seperti rumah kaca dan mekanisasi pertanian.
Meskipun menghasilkan peningkatan produksi, sistem ini ternyata membawa dampak negatif terhadap lingkungan. Penerapan mekanisasi, pupuk kimia, pestisida kimia, pola tanam monokultur, dan benih hibrida menyebabkan berbagai permasalahan seperti pencemaran lingkungan, degradasi tanah, hilangnya keanekaragaman hayati, ledakan hama, serta ketidakseimbangan ekosistem. Selain itu, emisi gas rumah kaca dari industri pertanian berkontribusi pada pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim. Sebaliknya, meningkatkan frekuensi bencana terkait iklim, seperti banjir dan kekeringan mengancam kestabilan produksi pangan.
Selain persoalan lingkungan, sistem pangan global juga menimbulkan berbagai masalah sosial, ekonomi, dan budaya. Misalnya kemiskinan petani, kesenjangan tenaga kerja, dan berkurangnya jumlah petani muda. Krisis generasi petani muda dalam pertanian merupakan persoalan reproduksi sosial yang kompleks. Keputusan generasi muda untuk bertani tidak hanya ditentukan oleh mereka sendiri, melainkan dipengaruhi oleh hubungan mereka dengan generasi sebelumnya, misalnya dalam akses terhadap alat produksi dan lahan. Banyak generasi muda tidak bisa bertani karena lahan pertanian masih dikelola oleh orang tua mereka. Sementara itu, untuk membeli tanah sendiri mereka belum mampu karena tingginya harga tanah.
Persoalan pangan di Indonesia merupakan isu kompleks yang mencakup aspek produksi, distribusi, dan konsumsi. Setiap aspek memiliki persoalannya sendiri. Sebagai negara dengan populasi lebih dari 280 juta jiwa, kebutuhan pangan Indonesia terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk. Produksi pangan domestik seringkali menghadapi kendala, seperti perubahan iklim, degradasi lahan pertanian, dan ketergantungan pada impor komoditas tertentu seperti gandum dan kedelai.
Selain soal ketersediaan pangan, akses terhadap pangan juga menjadi tantangan besar. Meskipun Indonesia merupakan negara agraris dengan produksi pangan melimpah. Distribusi hasil produksi pangan tersebut belum dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat. Beberapa daerah memiliki kondisi alam yang kurang subur sehingga mengalami kelangkaan pangan dan harus mendatangkan pangan dari luar dengan harga yang lebih tinggi. Di wilayah yang sama, ada kelompok miskin yang akses pangannya lebih sulit dibandingkan kelompok kaya di wilayah tersebut. Faktor infrastruktur yang belum memadai di beberapa wilayah menghambat pasokan pangan ke daerah terpencil, serta menyebabkan ketimpangan antara daerah surplus dan defisit pangan. Akibatnya, meskipun produksi nasional cukup, masih banyak kelompok masyarakat yang kesulitan mendapatkan pangan dengan harga terjangkau, yang berkontribusi pada permasalahan gizi seperti stunting dan malnutrisi.
Sebagaimana di banyak tempat di seluruh dunia, keberlanjutan sistem pangan juga menjadi perhatian, terutama terkait dengan modernisasi pertanian dan dampaknya terhadap lingkungan serta kesejahteraan petani. Penggunaan 8
pupuk kimia dan sistem pertanian monokultur telah meningkatkan produksi pangan dalam jangka pendek, tetapi juga menurunkan kesuburan tanah dan merusak ekosistem dalam jangka panjang. Selain itu, alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri dan permukiman terus mengurangi luas lahan produktif. Di sisi lain, semakin sedikitnya generasi muda yang tertarik menjadi petani turut mengancam keberlanjutan sektor pertanian di masa depan.
Hal serupa juga terjadi di Kota Bandung. Sebagai kota metropolitan dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi, Bandung menghadapi masalah ketersediaan lahan pertanian. Alih fungsi lahan untuk permukiman dan infrastruktur mengakibatkan berkurangnya produksi pangan lokal. Kota ini sangat bergantung pada pasokan dari daerah lain seperti Lembang, Sumedang, Garut, dan Subang. Ketergantungan ini membuat Kota Bandung rentan terhadap gangguan distribusi dan fluktuasi harga pangan, terutama saat terjadi bencana atau hambatan logistik.
Harga bahan-bahan pokok seperti beras dan sayuran sering kali mengalami kenaikan akibat rantai distribusi yang panjang dan spekulasi pasar. Pasar tradisional yang semula menjadi tempat warga mendapatkan pangan dengan harga murah mulai digantikan oleh supermarket dan minimarket. Perubahan gaya hidup masyarakat perkotaan yang serba cepat menyebabkan meningkatnya konsumsi makanan olahan yang kurang bernutrisi, sementara minat terhadap produk pangan lokal menurun. Makanan segar dan sehat makin sulit ditemui dan digantikan dengan makanan-makanan cepat saji dan produk-produk pangan olahan. Hal ini tidak hanya berdampak pada kesehatan masyarakat, tetapi juga terhadap keberlanjutan ekonomi para petani lokal. Selain itu, sistem produksi dan distribusi pangan seperti ini juga berkontribusi terhadap permasalahan lingkungan, seperti meningkatnya limbah makanan dan jejak karbon akibat transportasi pangan dari tempat yang jauh.
Para seniman residensi memotret situasi pangan yang multi dimensi tersebut lewat karya. Karya-karya itu ada dalam buku ini. Selamat menikmati karya-karya tersebut. Karya-karya ini tentu tidak otomatis mengubah persoalan-persoalan pangan di Kota Bandung. Meskipun demikian, setidak-tidaknya para pembaca dapat terbantu untuk melihat dan memahami persoalan tersebut dari berbagai sudut pandang. Semoga kekayaan pemahaman tersebut dapat membantu para pembaca untuk mengambil pilihan pangan yang lebih sehat, memastikan keberlanjutan alam, dan memberi kesejahteraan kepada orang-orang yang berkontribusi di seluruh rantai produksi, distribusi dan konsumsinya.
