Oleh Moch Hasrul
Ibu: “Kamu belajar apa hari ini di sekolah, Nak?”
Anak: “Hmm, di sekolah tadi aku belajar tentang pertanian, Bu. Di zaman dulu, pemerintah baik deh Bu. Masa ya, pemerintah memberikan bibit dan pupuk kimia kepada petani, katanya untuk meningkatkan produksi pertanian yang tinggi. Dan kami harus percaya itu. Aku jadi bingung, Bu.”
Ibu: “Waduh! Lalu kamu kenapa bingung?”
Dialog di atas menggambarkan realitas tentang distribusi pengetahuan di sekolah seringkali bersifat satu arah, siswa hanya menerima informasi tanpa ruang untuk mempertanyakan atau menganalisa secara kritis. Sebagai tempat produksi pengetahuan, sekolah seharusnya menjadi ruang untuk mengasah kesadaran kritis, bukan sekadar menyampaikan doktrinasi. Hingga saat ini, sekolah cenderung berfungsi sebagai institusi yang mencetak tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan industri. Ini berdampak pada pengabaian kesadaran kritis, kreativitas, dan kemampuan reflektif. Siswa/i hanya diarahkan untuk menerima pengetahuan yang sudah dianggap “matang” tanpa memiliki kesempatan untuk mempertanyakan relevansi atau implikasinya dalam kehidupan nyata.Yustiani dkk., dalam penelitiannya dengan judul Studi Komparatif Sistem Pendidikan Indonesia dan Finlandia (2024), menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih menitik-beratkan pada capaian akademik. Guru sebagai pusat dan siswa/i hanya sebagai objek yang pasif, dengan kata lain top-down. Sekali lagi, tujuannya sangat pragmatis yaitu menciptakan tenaga kerja untuk diserap oleh industri. Akibatnya, aspek penting seperti kesadaran kritis, kreativitas, dan pengembangan karakter seringkali terabaikan. Padahal, pengembangan karakter ini merupakan inti dari pandangan pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang menekankan pentingnya keseimbangan antara intelektual, emosional, dan moral dalam proses belajar.
Anak: “Soalnya, aku ingat Paman Petani, ayahnya Diana pernah cerita kalau tanahnya jadi keras dan nggak subur lagi setelah pakai pupuk kimia terlalu lama. Dia bilang, kalau nggak pakai pupuk itu, tanamannya nggak mau tumbuh.”
Ibu: “Wah, itu bagus kalau kamu mulai memikirkan dampaknya. Jika kamu suka, kamu bisa mencari tahu lagi lebih dalam tentang hal tersebut, nak!”
Anak : “Yaa.. Aku tertarik dengan hal tersebut, Bu!”
Dalam kutipan Ki Hadjar Dewantara, “Melalui pengenalan dan penerapan asas hak individu untuk menentukan nasib sendiri yang dipadukan dengan tuntunan kolektif,” tersirat bahwa pendidikan harus menghormati kebebasan individu untuk belajar sesuai dengan minat dan potensinya. Namun, kebebasan ini tetap harus berada dalam kerangka tanggung jawab sosial, setiap individu berkontribusi pada kepentingan bersama.
Konsep pendidikan memerdekakan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah pendekatan yang bertujuan mengembangkan potensi individu secara utuh. Pendidikan harus memberi ruang kepada setiap individu untuk berpikir, bereksplorasi, dan berkreasi dengan dasar tanggung-jawab sosial serta keharmonisan dengan alam. Sebagai proses belajar, pendidikan menjadikan manusia berkebudayaan yang merdeka dengan potensi ganda. Pertama, memahami diri sendiri, yaitu mengenali kekhasan potensi diri dan komitmennya terhadap kebersamaan nilai-nilai kebudayaan yang membentuk karakter. Kedua, memahami lingkungan, yaitu memberikan wahana kepada individu untuk mengenali dan mengembangkan kebudayaan sebagai sistem nilai, pengetahuan, dan perilaku bersama melalui olah pikir, olah rasa, olah karya, dan olahraga (Latif, 2020). Seperti yang terjadi dalam dialog imajinatif kedua, seorang anak memiliki pandangan lain terhadap isu pertanian. Dia mendapatkan informasi lain selain dari gurunya dan membebaskan dirinya untuk menentukan yang ingin dia cari tahu.
Pawiyatan atau yang lebih dikenal dengan mondok adalah sistem pengajaran efektif sejak abad ke-6 hingga ke-10 Masehi di Nusantara. Sistem ini melibatkan guru dan murid tinggal bersama untuk mendekatkan teori dengan praktik (Latif, 2020). Model ini mirip dengan residensi seni, seniman menetap dan berpraktik di lokasi spesifik untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial maupun alam. Proses ini mencakup dialog, refleksi, dan respons terhadap konteks lokal, melibatkan warga melalui diskusi, kolaborasi, atau workshop (Pinto dkk., 2020). Residensi seni menekankan eksplorasi kontekstual berbasis lokasi tertentu, memberikan ruang dan waktu bagi seniman untuk bereksperimen secara kreatif dan reflektif, serta menemukan makna baru (Elfving dkk., 2019). Interaksi sosial selama residensi membangun wacana spesifik yang menghubungkan keterampilan dan pengetahuan dengan empati dan kepedulian terhadap sesama (Hasrul, 2024).
Konsep Tri-N: ‘Niat, Nalar, dan Naluri’, menurut Ki Hadjar Dewantara mencakup dimensi moral, intelektual, dan estetika yang memungkinkan seni menjadi sarana untuk menghaluskan rasa, menciptakan kepekaan sosial, serta membangun hubungan emosional dengan lingkungan. Seni yang ideal dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara adalah seni yang mampu mengintegrasikan ketiga aspek ini, sehingga membentuk manusia yang seimbang: bermoral, berpikir kritis, dan peka terhadap keindahan.
Proses penggalian pengetahuan oleh seniman, terjadi saat seniman melakukan residensi seperti yang diceritakan sebelumnya. Lalu pengetahuan tersebut diartikulasikan melalui presentasi artistik. Presentasi artistik merupakan bagian dari salah satu proses penciptaan karya. Tangkapan-tangkapan pengetahuan tersebut diceritakan kembali melalui bentuk-bentuk artistik dengan kelihaian seniman masing-masing setelah direfleksikan ke dalam diri dengan medium-medium seni seperti video, karya-karya instalasi, lukisan, patung dan banyak lainnya. Penggunaan medium tergantung pada kemampuan, urgensi masing-masing karya, dan bagaimana “lipatan” medium tersebut bisa menyampaikan gagasan atau terjemahan dari pengetahuan senimannya. Medium karya juga akan menggiring apresiator ke dalam pemahaman gagasan dari seniman.
Proses ini mencerminkan gagasan Ki Hadjar Dewantara tentang pembelajaran yang memerdekakan, seniman bebas mengeksplorasi ide dan medium seni sesuai potensinya. Karya seni tidak hanya menciptakan gagasan baru, tetapi juga membangun dialog yang melibatkan pencipta dan audiens, sehingga seni menjadi sarana produksi sekaligus distribusi pengetahuan.
Selain itu, Ki Hadjar Dewantara sepakat bahwa seni merupakan proses belajar dan mengajar dua arah. Seni mendidik penciptanya melalui eksplorasi kreatif, dan mendidik penerimanya dengan memperkaya wawasan intelektual, membangun kepekaan moral, serta memperkuat hubungan sosial. Dalam pandangan ini, seni tidak hanya menjadi alat ekspresi pribadi, tetapi juga medium pembelajaran kolektif yang mengintegrasikan nilai-nilai moral, intelektual, dan estetika.
Pemikiran artistik menjadi dasar bagi aktivitas seniman-peneliti dalam menelaah persoalan pedagogis. Proses berpikir berlangsung melalui praktik artistik, mengikuti jalur yang beragam dan bergerak ke berbagai arah. Jalur-jalur ini saling bersilangan, bertukar posisi, dan sesekali bertemu di suatu titik. Wawasan baru muncul, sebuah momen di mana gagasan berkembang dan melahirkan sesuatu yang baru. Kalimat kalimat tersebut dikutip dari seorang seniman dan pengajar Jaana Erkkilä-Hill.
Sebagai penutup, pertanyaan mendasar yang perlu direfleksikan adalah: mampukah masyarakat dan sistem pendidikan di negara ini benar-benar mengimplementasikan konsep pendidikan yang memerdekakan? Dalam konteks ini, praktik artistik yang dilakukan oleh seniman bukan hanya sekadar ekspresi estetika, tetapi juga sebuah proses belajar-mengajar yang menantang metode pendidikan tradisional. Apakah seni dapat dianggap sebagai metode produksi pengetahuan yang dapat diimplementasikan secara efektif? Jika ya, bagaimana seni mampu bersaing atau melengkapi metode pembelajaran tradisional yang selama ini berfokus pada capaian akademik dan evaluasi terukur? Pertanyaan ini tidak hanya menantang pandangan kita tentang seni, tetapi juga mendesak kita untuk mempertimbangkan kembali paradigma pendidikan yang mengutamakan kebebasan berpikir, berkreasi, dan berinovasi.
Daftar Referensi :
Cloke, H. (2024, September 28). John Dewey’s Learning Theory: How We Learn Through Experience. Growth Engineering. https://www.growthengineering.co.uk/john-dewey/
Elfving, T., Kokko, I., & Gielen, P. (2019). Contemporary artist residencies: Reclaiming time and space. Valiz.
Erkkilä-Hill, J. (2024). Outside the rules, outside the boundaries. FORUM+, 31(1), 6–11. https://doi.org/10.5117/FORUM2024.1.002.ERKK
Hasrul, M. (2024). Sekolah itu bernama “Indonesia Art Movement.” Dalam Serrum & K. Yunita (Ed.), Ekstrakurikulab: Kolektif sebagai Sekolah (hlm. 207–232). Serrum.
John, E. (2001). Art and Knowledge. Dalam THE ROUTLEDGE COMPANION TO AESTHETICS (Vol. 1, hlm. 329). Routledge.
Latif, Y. (2020). Pendidikan yang berkebudayaan: Histori, konsepsi, dan aktualisasi pendidikan transformatif. PT Gramedia Pustaka Utama.
Pinto, M. R., Viola, S., Onesti, A., & Ciampa, F. (2020). Artists Residencies, Challenges and Opportunities for Communities’ Empowerment and Heritage Regeneration. Sustainability, 12(22), 9651. https://doi.org/10.3390/su12229651
Yustiani, B., Susanti, L. R., Safitri, E. R., & Gulo, F. (2024). STUDI KOMPARATIF SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA DENGAN FINLANDIA. LEARNING : Jurnal Inovasi Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran, 4(4), 1025–1035. https://doi.org/10.51878/learning.v4i4.3487
