Tag: tulisan

  • Catatan Kuratorial

    oleh Angga Wedhaswhara, Moch Hasrul & M Rico Wicaksono

    Dari situ saya memiliki pandangan bahwa dalam berbagai persoalan, khususnya konteks sistem pangan berkelanjutan, yang jadi masalah bukanlah pengetahuannya saja, tapi juga ada “rasa” yang bermasalah.

    – M Rico Wicaksono

    Urban Futures memiliki tujuan kampanye jangka panjang untuk mengubah perilaku dan kesadaran masyarakat Kota Bandung dalam sistem pangan berkelanjutan. Mengubah perilaku melalui kampanye, tidaklah cukup jika kita hanya memberikan pengetahuan saja. Sebagai contoh, apakah orang yang membuang sampah sembarangan tidak memiliki pengetahuan, bahwa tindakannya itu salah dan menimbulkan berbagai macam dampak yang buruk bagi lingkungan? Atau, apakah yang melakukan tindakan korup itu tidak mengetahui bahwa tindakannya itu salah dan merugikan banyak hal? Jika pertanyaannya soal tahu atau tidak, tentu saja mereka memiliki pengetahuan soal itu.

    Dari situ kami memiliki pandangan bahwa dalam berbagai persoalan, khususnya konteks sistem pangan berkelanjutan, yang jadi masalah bukanlah pengetahuannya saja, tapi juga ada “rasa” yang bermasalah.

    Seni memiliki potensi besar untuk menjadi jembatan yang menghubungkan berbagai sisi kehidupan manusia. Tidak hanya menyampaikan cerita, tetapi seni juga membuka ruang bagi percakapan baru, terutama tentang isu-isu yang dekat dengan kehidupan sehari-hari kita, salah satunya adalah pangan. Dalam konteks residensi seni ini, seni dipahami tidak hanya sebagai ekspresi estetis, tetapi juga sebagai alat untuk memahami, menyuarakan, dan membangun relasi antara manusia dengan sistem pangan di sekitarnya. Residensi ini lahir dari kebutuhan untuk menghubungkan dunia seni dengan narasi-narasi lokal yang seringkali terabaikan, seperti suara petani, pedagang pasar, konsumen, dan bahkan pengelola kantin sekolah.

    Residensi ini bukan hanya tentang menciptakan karya seni, tetapi juga tentang mendengarkan. Dengan terjun langsung ke lokasi seperti lahan pertanian, pasar, atau kantin sekolah, seniman memiliki kesempatan untuk menggali cerita-cerita yang sering tersembunyi di balik sistem pangan. Dalam proses ini, seni menjadi medium refleksi dan pembelajaran yang mendorong dialog lintas perspektif. Dialog inilah yang memungkinkan terciptanya ruang silang pengetahuan antara seniman, host, dan komunitas. Residensi ini, pada akhirnya adalah ruang bersama untuk memahami isu pangan secara lebih mendalam sekaligus membangun narasi yang mampu menjawab tantangan lokal maupun global.

    Kenapa Rantai Pangan?

    Rantai pangan dipilih sebagai fokus utama residensi seni ini karena ia mencerminkan inti dari keberlanjutan, isu yang semakin relevan di tengah tekanan urbanisasi. Sistem pangan, yang tampak sederhana, sesungguhnya adalah jaringan kompleks yang menyentuh hampir setiap aspek kehidupan manusia: mulai dari bagaimana makanan ditanam, didistribusikan, dikonsumsi, hingga bagaimana limbahnya dikelola. Di Kota Bandung, urbanisasi yang pesat menambah tantangan baru pada sistem pangan. Pasar tradisional harus bersaing dengan supermarket besar, sementara petani kecil sering kali terpinggirkan oleh sistem distribusi yang tidak adil. Namun, di balik setiap tantangan itu, ada cerita: petani yang gigih merawat tanah mereka, pedagang kecil yang menjadi tulang punggung ekonomi lokal, hingga keluarga yang mencari cara untuk mendapatkan asupan pangan terbaik sambil mengurangi limbah makanan mereka.

    Residensi seni ini mencoba membongkar rantai pangan melalui pendekatan artistik. Dengan menjadikan Bandung sebagai lokus eksplorasi, residensi ini mengurai siklus pangan—produksi, distribusi, konsumsi, hingga sampah makanan—untuk menggali perspektif baru atau alternatif yang jarang terlihat. Melalui pandangan seniman, rantai pangan yang kompleks ini dipecah satu per satu, tidak hanya untuk memahami cerita yang tersembunyi, tetapi juga untuk memetakan relasi kuasa yang sering kali tak tampak dalam sistem pangan. Dengan membagi menjadi empat bagian, harapannya dapat lebih fokus dalam menganalisa dan menggali persoalan mana yang sebenarnya menjadi hambatan paling besar dalam membangun sistem pangan berkelanjutan.

    Bagaimana Memilih Senimannya?

    Pemilihan seniman dalam residensi seni ini didasarkan pada pendekatan yang mengutamakan sensitivitas terhadap isu-isu lokal dan kemampuan untuk membangun dialog dengan komunitas. Kurator tidak memandang seniman hanya sebagai pencipta karya seni, tetapi juga sebagai pembelajar yang dapat menangkap cerita-cerita lokal, mendengarkan narasi yang tersembunyi, dan mengolahnya menjadi gagasan visual yang relevan dan menggugah. Dalam residensi ini, seniman tidak hanya mencipta, tetapi juga mendalami pengalaman bersama komunitas dan lingkungan yang menjadi bagian dari sistem pangan.

    Salah satu pertimbangan pada prinsip-prinsip dasar dari program Urban Futures di antaranya para seniman yang dilibatkan harus mewakili orang muda berusia maksimal 35 tahun dan tidak pernah memiliki rekam jejak yang bertentangan dengan nilai-nilai GEDSI (Gender Equality, Disability, and Social Inclusion). Selanjutnya, kami memilih para seniman berdasarkan pertimbangan artistik dan memiliki kecenderungan melakukan riset dalam proses kreatifnya sehingga dirasa cocok dalam metode residensi.

    Proses pemetaan seniman dilakukan dengan mencari individu yang memiliki kedekatan atau ketertarikan terhadap isu-isu pangan, serta semangat untuk bereksperimen dengan pendekatan artistik mereka. Seniman yang terlibat membawa perspektif yang beragam, baik dari medium yang mereka gunakan maupun cara mereka memahami tema residensi. Gilang Mustofa, Anita Bonit, Tsabita Aqdimah, dan Radni Thiemann adalah seniman yang menunjukkan keterbukaan untuk berdialog dengan narasi-narasi lokal dan memiliki kemampuan untuk mengartikulasikan temuan mereka melalui karya visual.

    Keempat seniman tersebut tidak hanya mewakili keberagaman medium artistik, tetapi juga latar belakang dan usia yang berbeda, yang menciptakan ruang dialog lintas generasi di dalam residensi ini. Pendekatan yang digunakan pun beragam: Gilang menggunakan observasi dan instalasi untuk mengeksplorasi narasi, Anita bekerja dengan medium printmaking untuk menciptakan detail yang mendalam, Tsabita membawa perspektif visual yang unik melalui cat air dan eksplorasi mikroskopik, sementara Radni menggunakan fotografi untuk menangkap esensi dan cerita yang tersembunyi dalam rantai pangan.

    Residensi ini dirancang sebagai ruang untuk seniman dan kurator dapat saling belajar dan berbagi pengetahuan secara setara. Kurator tidak hanya mendampingi seniman dalam proses eksplorasi ide dan narasi, tetapi juga menjadi mitra dalam memperkuat relevansi karya dengan konteks sosial yang lebih luas. Di sisi lain, seniman juga memiliki kebebasan untuk bereksperimen, baik dalam hal artistik maupun pendekatan mereka terhadap tema residensi. Dengan semangat kolaborasi ini, residensi menciptakan ruang untuk mempertemukan berbagai perspektif dan mendorong eksplorasi yang tidak hanya artistik, tetapi juga mendalam secara naratif dan sosial.

    Bagaimana Pemilihan Lokus?

    Lokus dalam residensi seni ini bukan sekadar latar, tetapi juga menjadi bagian penting dari narasi yang ingin diceritakan. Pemilihan lokus dirancang untuk mencakup seluruh tahapan dalam rantai pangan, mulai dari produksi hingga pengelolaan sampah makanan. Empat lokus utama dipilih untuk memberikan gambaran yang menyeluruh tentang rantai pangan:

    • Produksi Pangan: Lahan pertanian, tempat di mana hubungan manusia dengan tanah dan alam dimulai.
    • Distribusi Pangan: Pasar tradisional, dalam hal ini pasar induk yang menjadi ruang interaksi sosial sekaligus mencerminkan dinamika ekonomi lokal.
    • Konsumsi Pangan: Kantin sekolah yang merepresentasikan kebiasaan makan generasi mendatang serta pola konsumsi sehari-hari.
    • Sampah Makanan: Lokasi pengelolaan limbah yang sering kali menjadi titik yang terabaikan dalam sistem pangan tetapi sangat penting untuk keberlanjutan.

    Setiap lokus ini dirancang untuk memberikan seniman perspektif yang berbeda tentang bagaimana rantai pangan beroperasi, baik dari hulu hingga ke hilir. Dengan memetakan lokus berdasarkan tahapan rantai pangan, residensi ini tidak hanya berakar pada realitas lokal tetapi juga relevan untuk menjawab tantangan global yang berkaitan dengan keberlanjutan sistem pangan.

    Pemilihan lokus ini tidak hanya tentang tahapan dalam rantai pangan, tetapi juga tentang bagaimana seniman dapat mendekati dan merespons setiap tempat dengan cara yang unik. Berdasarkan diskusi di antara tim kuratorial, setiap seniman didorong untuk mengembangkan pendekatan artistik mereka berdasarkan interaksi dengan lokus yang dipilih. Misalnya, Gilang Mustofa, dalam praktiknya sering mengeksplorasi isu pertanian, diberikan tantangan untuk memperluas fokusnya ke wilayah distribusi pangan. Di pasar induk, ia diharapkan menangkap dinamika sosial dan ekonomi yang terjadi di antara pedagang, pembeli, dan sistem distribusi itu sendiri.

    Radni Thiemann Beelt, yang memiliki latar belakang fotografi dan kedekatan dengan isu pertanian, difasilitasi untuk mengeksplorasi food waste sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rantai pangan. Salah satu inisiasinya dalam gerakan permakultur adalah dengan menjadikan kebun milik keluarganya di Subang yang diberi nama Lab Ngebon sebagai laboratorium bagi siapapun yang ingin belajar mengenai permakultur. Perspektifnya diharapkan dapat menangkap narasi baru tentang hubungan antara konsumsi, limbah, dan keberlanjutan.

    Dalam lokus produksi pangan, Tsabita Aqdimah, seniman termuda dalam residensi ini, diberikan kesempatan untuk mendekati isu ini dari sudut pandang yang segar. Dengan pendekatan visual yang menggunakan cat air dan eksplorasi mikroskopik, ia diharapkan dapat mengelaborasi gagasan artistiknya dengan realitas produksi pangan dan hubungan manusia dengan tanah.

    Di sisi lain, Anita Bonit, sebagai seniman dan ibu, membawa perspektif yang personal dalam melihat pola konsumsi pangan. Sebagai seorang ibu yang memiliki sudut pandang lain dalam menggali dan mengartikulasikan fenomena di sektor konsumsi mikro yang bertempat di kantin sekolah. Ia mengamati bagaimana pilihan makanan sehari-hari di kantin sekolah hingga meja makan mencerminkan pola-pola konsumsi yang lebih luas dalam masyarakat. Pengalamannya memberikan narasi yang kuat tentang bagaimana konsumsi tidak hanya soal kebutuhan fisik, tetapi juga tentang kebiasaan, tradisi, dan dinamika sosial di sekitarnya.

    Dengan pendekatan ini, lokus dalam residensi ini tidak hanya menjadi tempat observasi atau eksplorasi, tetapi juga menjadi bagian integral dari narasi yang dihidupkan melalui dialog antara seniman, host, dan komunitas lokal. Setiap lokus menawarkan cerita dan tantangan yang unik, yang diolah melalui perspektif artistik untuk menciptakan karya seni yang relevan dan bermakna.

    Apakah Residensi Seni Bisa Menjadi Produksi Pengetahuan?

    Residensi seni adalah ruang untuk belajar dan berbagi. Melalui interaksi dengan komunitas, seniman tidak hanya menggali cerita tetapi juga menciptakan pengetahuan baru yang sering kali tidak ditemukan dalam buku teks atau data statistik. Pengetahuan ini bersifat partisipatif dan hidup, terjalin dari pengalaman sehari-hari: bagaimana petani menghadapi menyusutnya lahan, bagaimana pasar tradisional bertahan di tengah modernisasi, bagaimana kantin sekolah menyiasati sumber pangan dan strategi transaksinya, atau bagaimana rumah tangga mengelola limbah makanan mereka. Dalam proses ini, seni mengikat berbagai pengalaman tersebut ke dalam karya yang tidak hanya berbicara kepada mata, tetapi juga kepada hati dan pikiran.

    Merancang ruang dialog adalah salah satu gagasan utama dalam residensi seni ini. Perspektif ruang dialog yang tercipta antara seniman dan host, antara seniman dengan sesama seniman, serta antara seniman dengan tim kuratorial dan ahli pertanian menjadi bagian yang penting dalam produksi pengetahuan. Dialog ini tidak hanya berfokus pada hasil akhir, tetapi juga pada proses interaksi yang terjadi di sepanjang residensi. Proses inilah yang memungkinkan pengetahuan baru lahir, dari hubungan yang setara dan kolaboratif antara berbagai pihak.

    Hasil dari residensi ini dapat diibaratkan sebagai sebuah “arsip hidup”—kumpulan data, cerita, dan refleksi yang melampaui batas bahasa dan budaya. Pengetahuan yang dihasilkan tidak hanya diartikulasikan melalui karya seni, tetapi juga melalui pengalaman mendalam yang muncul dari ragam perspektif, seperti bagaimana seniman dan host saling terhubung layaknya rantai. Dalam konteks residensi ini, seni menjadi medium untuk memahami isu pangan secara lebih mendalam dan untuk menyajikan narasi yang kaya dan beragam, yang tidak hanya menjelaskan tetapi juga memantik diskusi lebih luas tentang keberlanjutan pangan.

    Seberapa Penting Host dalam Residensi Seni Ini?

    Host memegang peranan yang sangat penting dalam residensi seni ini, karena mereka adalah mitra utama seniman dalam menggali pengetahuan dan memahami konteks lokal. Sebagai individu yang hidup dan bekerja di dalam sistem pangan, host menawarkan perspektif langsung tentang bagaimana sistem pangan beroperasi, mulai dari cara pasar lokal berjalan, bagaimana petani menjaga tanah mereka, bagaimana distribusi pangan dilakukan, hingga bagaimana masyarakat mengelola limbah makanan. Dengan pengalaman mereka yang terhubung langsung pada rantai pangan, host menjadi pintu masuk bagi seniman untuk memahami konteks tempat mereka berkarya.

    Peran host tidak hanya berhenti pada berbagi pengetahuan. Mereka juga menjadi teman belajar dengan seniman. Dalam residensi ini, terjadi hubungan timbal balik di mana seniman belajar dari pengalaman local host, sementara host memanfaatkan seni sebagai medium untuk melihat realitas mereka sendiri dari sudut pandang baru. Dialog yang tercipta di antara mereka memungkinkan munculnya refleksi bersama, menciptakan pemahaman yang lebih mendalam dan menciptakan rantai-rantai baru dalam produksi pengetahuan.

    Selain itu, host juga berperan sebagai fasilitator yang memberikan akses kepada seniman terhadap narasi-narasi yang tersebar dalam isu pangan. Mereka membantu seniman untuk menjelajahi dimensi sosial, ekonomi, dan budaya dari rantai pangan, yang sering kali tidak terlihat dari permukaan. Host memberikan umpan balik yang penting dalam proses kreatif seniman, memperkaya karya seni yang dihasilkan dengan konteks lokal yang otentik dan relevan. Tanpa host yang aktif dan berkontribusi, residensi ini akan kehilangan kedalamannya. Host adalah jantung dari proses residensi ini. Mereka memastikan bahwa seni yang lahir tidak hanya estetis, tetapi juga hidup, terhubung dengan realitas lokal, dan mampu membuka ruang dialog yang lebih luas. Pada akhirnya, kolaborasi antara host dan seniman ini tidak hanya menghasilkan karya seni, tetapi juga menciptakan ruang pembelajaran yang manusiawi, di mana narasi-narasi lokal bertemu dengan eksplorasi artistik untuk menciptakan pengetahuan baru yang bermakna.

    ⁠⁠Bagaimana timeline residensi ini?

    Sebagai sebuah proses yang panjang dalam produksi pengetahuan, kami merencanakan beberapa kegiatan yang membentuk ruang dialog antara pihak-pihak yang terlibat dalam residensi ini. Proses residensi seniman di lokus bukanlah proses yang utama, karena hal tersebut hanya ditempuh selama dua minggu. Secara waktu proses residensi ini dirancang selama lima bulan, mulai dari bulan November 2024 hingga bulan Maret 2025. Rangkaian kegiatan tersebut dari perencanaan hingga produksi pengetahuan tersebut terjadi dalam bentuk buku yang diiringi dengan diskusi. 

    Proses residensi ini memfasilitasi ruang dialog, maka kegiatan yang memicu ruang dialog pun kami rancang. Seperti pada tahap awal seniman melakukan residensi seni ini, kami merancang sebuah pertemuan untuk mempertemukan seluruh individu yang terlibat dalam residensi: seniman, host, hingga aktivis pertanian. Lalu pada saat bagian pertama residensi di lokus produksi, distribusi, dan sampah pangan selesai kami juga merancang ruang dialog kembali. Begitupun saat bagian kedua residensi di lokus konsumsi akan dimulai kami memfasilitasi untuk terciptanya ruang dialog dan juga membuat keterhubungan dalam rantai ini terjadi. Dianalogikan secara produksi, distribusi, dan sampah pangan diselidiki lalu proses konsumsinya.

    Selanjutnya, pada saat penyusunan buku sebagai produk pengetahuan, kami mengundang penulis untuk membaca proses yang terjadi selama residensi seni ini untuk memberikan gambaran lain tentang proses selama residensi seni ini. Hingga pada ujungnya proses residensi seni ini diartikulasikan dalam sebuah buku dan didiskusikan bersama.

    Orang Muda, Pangan, dan Kota Bandung: Percakapan yang Muncul dari Proses Residensi 

    Residensi ini mempertemukan empat seniman muda—Anita Bonit, Gilang, Radni, dan Tsabita— yang masing-masing membawa cara pandang, pengalaman, dan refleksi berbeda dalam membaca sistem pangan Kota Bandung. Meskipun berangkat dari latar belakang yang tidak sama, proses yang mereka jalani memperlihatkan bagaimana pangan menjadi ruang negosiasi, bertahan, sekaligus medan penciptaan makna bagi orang muda hari ini.

    Bagi Anita Bonit, pengalaman menjadi ibu, seniman, sekaligus bagian dari komunitas kolektif, membentuk caranya membaca pangan bukan semata soal makan, tetapi juga cara bertahan hidup di tengah kota yang terus bergerak. Lewat pengamatan di kantin kampus, Anita merekam bagaimana mahasiswa Bandung, yang sebagian besar adalah orang muda dari berbagai latar, mengembangkan pola konsumsi yang cerdas, penuh taktik, dan sering kali harus bernegosiasi antara kebutuhan ekonomi, gizi, dan kebiasaan sosial. Karya “Dinamika Piring dan Zine: Kadaharan Bandung” menjadi upaya untuk menangkap dinamika ini, bagaimana makanan yang tampak sederhana sebenarnya menyimpan cerita kompleks tentang relasi ekonomi, budaya, dan identitas. 

    Gilang, melalui pendekatan video dokumenter, memilih untuk nongkrong di tengah denyut Pasar Induk Gedebage—ruang distribusi pangan yang menjadi simpul penting bagi Kota Bandung. Di pasar, Gilang menemukan bagaimana orang muda terlibat sebagai aktor dalam sistem distribusi pangan: menjadi pedagang, buruh angkut, bahkan mediator sosial. Di balik aktivitas jual beli, ia juga menemukan cerita-cerita lain: tentang migrasi orang dari daerah ke kota, sampah yang menjadi sisa dari sistem distribusi, dan peran-peran tersembunyi yang dilakoni para pedagang muda. Salah satunya Kang Gjuy, pedagang yang juga aktivis lingkungan, yang menghubungkan pasar dengan persoalan lebih luas seperti pengelolaan sampah. Bagi Gilang, pasar bukan sekadar tempat transaksi, tetapi ruang sosial yang memperlihatkan ketegangan sekaligus solidaritas dalam sistem pangan urban. 

    Radni membawa cara pandang yang lebih kontemplatif. Ia memulai dari pengalaman pribadi, bagaimana beradaptasi kembali dengan kehidupan kota setelah lama hidup dengan prinsip permakultur di pinggiran. Pengalaman ini membawanya pada kegelisahan tentang bagaimana sistem pangan kota memutus hubungan manusia dengan tanah, dengan proses produksi pangan itu sendiri. Melalui catatan visual, fotografi, dan scrapbook, Radni merekam lanskap yang didominasi monokultur, hilangnya keanekaragaman tanaman pangan, hingga keterasingan masyarakat dari proses tumbuhnya makanan. Bagi Radni, pangan di kota adalah cermin dari sistem yang membentuk jarak antara manusia dan alam—dan orang muda sering kali berada di tengah-tengahnya, terseret arus tanpa ruang jeda untuk berpikir atau bertindak lain. 

    Tsabita, dengan pendekatan berbasis riset mikroskopik, mengajak kita melihat pangan dari skala yang sering kali luput: tanah, mikro-organisme, dan proses yang tersembunyi di balik produksi pangan. Ia menemukan bahwa tanah-tanah di sekitar Bandung, yang tampak subur dari luar, ternyata kehilangan kehidupan di dalamnya akibat pemakaian pupuk kimia dan pestisida. Hasil-hasil pertanian yang tampak segar, dalam karyanya, berubah menjadi visual mengganggu: selada yang tak kunjung membusuk, tanah yang miskin organisme. Namun, Bita juga merekam suara-suara harapan, seperti dari Iman—seorang petani muda yang berbagi tentang dinamika bertani di tengah kota. Lewat perspektif mikroskop, Tsabita menunjukkan bagaimana persoalan pangan kota tidak bisa dilepaskan dari soal ekologi yang lebih dalam. 

    Dari keempatnya, muncul pemahaman bahwa orang muda bukan sekadar pelengkap dalam sistem pangan Kota Bandung. Mereka terlibat sebagai konsumen, produsen, pekerja, inovator, bahkan aktivis. Mereka yang menjadi pelaku di kantin, pasar, kebun kota, hingga laboratorium pangan, memperlihatkan bahwa sistem pangan ini hidup karena adanya gerak dan keputusan-keputusan sehari-hari yang mereka buat—meskipun tidak selalu disadari sebagai bagian dari sistem yang lebih besar. 

    Menariknya, keempat seniman ini lewat karya dan prosesnya, membuka ruang untuk melihat bahwa pangan tidak berdiri sendiri. Ia selalu melekat dengan sistem ekonomi kota, relasi sosial, persoalan lingkungan, dan identitas budaya. Pangan menjadi cermin dari bagaimana kota hidup, bagaimana orang muda bertahan, dan bagaimana mereka merespons berbagai tantangan zaman. 

    Residensi ini, pada akhirnya, adalah upaya untuk membunyikan kegelisahan sekaligus harapan. Kegelisahan atas sistem pangan yang sering kali timpang, eksploitatif, dan memutus hubungan dengan alam. Tapi juga harapan—bahwa lewat kesadaran, kreativitas, dan keberanian, orang muda bisa ikut membentuk ulang sistem pangan kota mereka sendiri. 

    Bandung, dalam konteks ini, menjadi kota yang bukan hanya menyimpan persoalan, tetapi juga ruang bagi kemungkinan-kemungkinan baru: ruang bagi pertemuan antara makanan, seni, dan gagasan-gagasan segar yang datang dari orang-orang mudanya.